Pasal 379 KUHP – Penipuan dengan Surat Palsu
Pasal 379 KUHP mengatur penipuan yang dilakukan dengan menggunakan surat atau dokumen palsu, baik itu untuk mendapatkan uang atau barang dari orang lain. Isi Pasal 379 KUHP:
“Barang siapa dengan memakai surat palsu atau surat yang dipalsukan dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan tipu muslihat, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu, atau memberikan hutang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”
Penjelasan: Pasal ini khusus mengatur penipuan yang dilakukan dengan menggunakan dokumen atau surat palsu, yang dapat mencakup segala jenis surat yang digunakan dalam transaksi atau kegiatan bisnis. Jika surat palsu digunakan untuk menipu, pelaku bisa dijatuhi pidana penjara hingga 5 tahun.
Pasal 378 KUHP – Penipuan Umum
Pasal 378 KUHP adalah pasal utama yang mengatur tentang tindak pidana penipuan dalam hukum pidana Indonesia. Pasal ini mengatur mengenai tindakan yang dilakukan dengan cara menipu seseorang untuk mendapatkan keuntungan secara tidak sah. Isi Pasal 378 KUHP:
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, atau dengan tipu muslihat, atau rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu, atau memberikan hutang, yang dapat mendatangkan kerugian, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Penjelasan: Pasal ini mengatur tentang penipuan dengan menggunakan modus operandi seperti menyamar menggunakan identitas palsu, memberikan informasi yang salah, atau melakukan tindakan yang membujuk korban untuk menyerahkan harta benda atau memberikan pinjaman. Hukuman bagi pelaku penipuan ini adalah penjara maksimal 4 tahun.
Laporan Penipuan Online
Jika Anda tertipu transaksi online, dipaksa melakukan transfer sejumlah uang dengan iming-iming hadiah atau bentuk penipuan lain sebagaimana disebut di atas, Anda dapat melakukan pelaporan penipuan online melalui CekRekening.id by Kominfo, dengan tahapan sebagai berikut:
Penyalahgunaan jasa telekomunikasi berupa panggilan dan/atau pesan yang bersifat mengganggu dan/atau tidak dikehendaki juga dapat diindikasikan sebagai penipuan.
Berdasarkan informasi yang dilansir dari laman Aduan BRTI Kominfo, berikut adalah alur pelaporan penipuan online yang dapat Anda lakukan:
Selain melapor secara online, Anda juga dapat melaporkan penipuan online ke polisi. Selengkapnya dapat Anda baca dalam artikel Mau Melaporkan Tindak Pidana ke Polisi? Begini Prosedurnya.
Kesimpulannya, pasal penipuan online, pasal tentang penipuan jual beli online maupun pasal penipuan pinjaman online memang tidak diatur secara eksplisit dalam KUHP lama dan RKUHP maupun UU ITE beserta perubahannya. Akan tetapi, menurut hemat kami, pelaku penipuan online dapat dijerat menggunakan Pasal 28 ayat (1) UU ITE jo. Pasal 45A ayat (1) UU 19/2016.
Baca juga: 5 Modus Penipuan Online dan Cara Melaporkannya ke Polisi
Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel berjudul Merekomendasikan Orang yang Ternyata Penipu, Bisakah Dipidana yang dibuat oleh Negarawati Ester Benedicta Sihombing, S.H. dan dipublikasikan pertama kali pada Jumat, 23 Juli 2021.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Sebelum menjawab inti pertanyaan Anda tentang adakah pidana bagi orang yang “merekomendasikan”, kami perlu menjelaskan lebih lanjut terkait pasal penipuan atau tindak pidana penipuan terlebih dahulu.
Ketentuan Pasal 378 KUHP menerangkan bahwa yang dimaksud dengan penipuan adalah kondisi yang dilakukan oleh siapa pun dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, atau pun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Jika diperhatikan, unsur-unsur dari pasal penipuan tersebut, antara lain:
Lebih lanjut, terkait pasal penipuan, R. Soesilo dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal.261) menerangkan ada sejumlah unsur-unsur tindak pidana penipuan yang perlu diperhatikan, yaitu:
nama yang digunakan bukanlah namanya sendiri, sebagai contoh nama ‘Saimin’ dikatakan ‘Zaimin’, tidak dapat dikatakan menyebut nama palsu, akan tetapi kalau ditulis, maka dianggap sebagai menyebut nama palsu.
atau suatu tipu yang demikian liciknya, sehingga seorang yang berpikiran normal dapat tertipu.
satu kata bohong tidaklah cukup, harus terdapat banyak kata-kata bohong yang tersusun demikian rupa, sehingga keseluruhannya merupakan cerita sesuatu yang seakan-akan benar.
Pasal 386 KUHP – Penipuan dalam Transaksi Perdagangan
Pasal 386 KUHP mengatur tentang penipuan yang terjadi dalam konteks transaksi perdagangan, seperti penjualan barang yang tidak sesuai dengan yang dijanjikan atau penipuan terkait kualitas barang. Isi Pasal 386 KUHP:
“Barang siapa dalam transaksi perdagangan, dengan sengaja mengelabui pihak lain untuk membeli atau menerima barang yang tidak sesuai dengan yang dijanjikan, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”
Penjelasan: Pasal ini memberikan sanksi bagi siapa saja yang melakukan penipuan dalam perdagangan, seperti menjual barang palsu, barang dengan kualitas yang lebih rendah dari yang dijanjikan, atau menggunakan informasi yang menyesatkan.
Pasal 490 KUHP – Penipuan dalam Perkawinan
Pasal ini mengatur penipuan yang berkaitan dengan perkawinan, terutama terkait penipuan yang dilakukan dengan tujuan mengelabui pihak lain dalam proses perkawinan. Isi Pasal 490 KUHP:
“Barang siapa dengan maksud menipu, membuat perjanjian nikah atau perkawinan yang tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun.”
Penjelasan: Pasal ini mengatur tentang penipuan yang terjadi dalam konteks pernikahan atau perjanjian perkawinan, yang melibatkan kebohongan atau pemalsuan informasi mengenai status atau persyaratan perkawinan.
Penjelasan Pasal 492 UU 1/2023
Selanjutnya, berdasarkan Penjelasan Pasal 492 UU 1/2023, pasal ini adalah ketentuan tentang tindak pidana penipuan, yaitu tindak pidana terhadap harta benda. Perbuatan materiel dari penipuan adalah membujuk seseorang dengan berbagai cara, untuk memberikan barang, membuat utang atau menghapus piutang. Dengan demikian, perbuatan yang langsung merugikan itu tidak dilakukan oleh pelaku tindak pidana, tetapi oleh pihak yang dirugikan sendiri. Perbuatan penipuan baru selesai dengan terjadinya perbuatan dari pihak yang dirugikan sebagaimana dikehendaki pelaku.
Kemudian, barang yang diberikan tidak harus secara langsung kepada pelaku tindak pidana tetapi dapat juga dilakukan kepada orang lain yang disuruh pelaku untuk menerima penyerahan itu. Lalu, barang yang diserahkan dapat merupakan milik pelaku sendiri, misalnya barang yang diberikan sebagai jaminan utang bukan untuk kepentingan pelaku.
Lebih lanjut, tempat tindak pidana adalah tempat pelaku melakukan penipuan, walaupun penyerahan dilakukan di tempat lain. Sedangkan saat dilakukannya tindak pidana adalah saat pelaku melakukan penipuan.
Pada intinya, ketentuan Pasal 492 UU 1/2023 menyebut secara limitatif daya upaya yang digunakan pelaku yang menyebabkan penipuan itu dapat dipidana, yaitu berupa nama atau kedudukan palsu, penyalahgunaan agama, tipu muslihat dan rangkaian kata bohong. Antara daya upaya yang digunakan dan perbuatan yang dikehendaki harus ada hubungan kausal, sehingga orang itu percaya dan memberikan apa yang diminta.
Baca juga: Perbedaan Penipuan dan Penggelapan
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
[2] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023
[3] R. Sugandhi. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan Penjelasannya. Surabaya: Usaha Nasional. 1980, hal. 396-397
[4] R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1986, hal. 261
BATAM, TRIBUNBATAM.id - Korban arisan online milik Sherly Wahyuni di Batam mencapai 400 orang dengan kerugian miliaran rupiah.
Kerugian anggota arisan nilainya bervariasi, bisa puluhan juta sampai ratusan juta.
Meski begitu, tentu tidak semua member itu melapor atau menjadi korban karena ada juga yang sudah mendapat untung, bahkan kabur setelah modalnya kembali plus untungnya.
Mereka yang kabur itu umumnya pendaftar awal yang tentunya mendapat giliran awal juga layaknya arisan.
Seorang korban, sebut saja Sri, mengungkapkan jika uang arisan disetor langsung kepada Sherly via ATM.
Cara mendaftarnya mudah.
Bisa lewat Instagram atau WhatsApp.
Dalam satu putaran atau kloter arisan, jumlah pesertanya macam-macam, bisa 10, 15 atau 20 member.
Kalau slot masih ada, bisa bergabung. Kalau slot habis, harus menunggu slot berikutnya.
Baca juga: PENEMUAN MAYAT DI BATAM - Masih Berlabel Mrs X, Wanita yang Tewas di Sekupang Kerap Tidur di Halte
Baca juga: KABAR GEMBIRA! Imigrasi Batam Tambah Kuota Pengurusan Paspor, Sehari Kini 320 Permohonan
"Kalau satu slot jumlah member belum cukup, arisan belum bisa dimulai," beber Sri kepada Tribun, Jumat (24/6/2022) lalu.
Sri sendiri tergiur ikut arisan ini karena beberapa temannya yang sudah “get” bisa membeli kendaraan dan mencicil rumah.
Ia pun kemudian bertanya kepada admin melalui Instagram.
Sistem arisannya hampir sama dengan arisan pada umumnya, yakni bergilir.
Bedanya, mekanisme pembayarannya memakai sistem menurun.
Pertanggungjawaban Pidana
Mengutip Pound, Romli Atmasasmita dalam buku Perbandingan Hukum Pidana (hal. 65) menerangkan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah dirugikan.
Masih perihal pertanggungjawaban pidana, Roeslan Saleh dalam buku Pikiran-Pikiran tentang Pertanggungjawaban Pidana (hal. 33) menerangkan bahwa pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu.
Adapun yang dimaksud dengan celaan objektif adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang tersebut merupakan perbuatan yang dilarang oleh hukum, sedangkan celaan subjektif adalah orang yang melakukan perbuatan yang dilarang atau bertentangan dengan hukum (hal. 33).
Merujuk pada permasalahan Anda, apabila orang yang merekomendasikan tidak mengetahui kasus penipuan atau niat jahat yang akan dilakukan oleh orang yang direkomendasikannya, maka orang yang merekomendasikan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban.
Namun, apabila orang yang merekomendasikan ini mengetahui adanya niat jahat kemudian bersekongkol atau melakukan pemufakatan jahat, dan ikut serta dalam melakukan upaya penipuan serta memenuhi unsur tindak pidana penipuan, maka orang yang merekomendasikan dapat dikategorikan sebagai orang yang turut serta dalam melakukan pasal penipuan dan dapat diminta pertanggungjawaban.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 55 ayat (1) KUHP, yang menyatakan bahwa yang dipidana sebagai pelaku tindak pidana adalah:
Perlu diingat bahwa pertanggungjawaban pidana hanya berlaku bila seseorang melakukan sebuah tindak pidana. Oleh karenanya, apabila orang yang merekomendasikan tidak turut serta melakukan tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang direkomendasikannya, maka ia tidak dapat dimintai pertanggungjawaban baik secara pidana maupun perdata. Melainkan orang yang merekomendasikan hanya bertanggung jawab secara moral atas tindakan orang yang direkomendasikannya.
Demikian jawaban kami seputar pasal penipuan dan sanksi hukum yang mungkin dijatuhkan pada orang yang merekomendasikannya, semoga bermanfaat.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Tindak pidana penipuan diatur dalam Pasal 378 KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan Pasal 492 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[1] yaitu tahun 2026.
Bunyi Pasal 378 KUHP tentang tindak pidana penipuan adalah:
Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.
Adapun, pasal tindak pidana penipuan dalam Pasal 492 UU 1/2023 adalah:
Setiap Orang yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau kedudukan palsu, menggunakan tipu muslihat atau rangkaian kata bohong, menggerakkan orang supaya menyerahkan suatu barang, memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapus piutang, dipidana karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.
Sebagai informasi, denda kategori V dalam Pasal 492 UU 1/2023 di atas adalah Rp500 juta.[2]
Menurut R. Sugandhi, unsur-unsur tindak pidana penipuan yang terkandung dalam Pasal 378 KUHP adalah tindakan seseorang dengan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, nama palsu dan keadaan palsu dengan maksud menguntungkan diri sendiri dengan tiada hak.[3]
Lebih lanjut menurut R. Soesilo, kejahatan pada Pasal 378 KUHP dinamakan “penipuan”, yang mana penipu itu pekerjaannya:[4]
Pasal-Pasal yang Mengatur tentang Penipuan dalam Hukum Pidana Indonesia
Penipuan merupakan salah satu tindak pidana yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari, di mana pelaku mencoba untuk memperoleh keuntungan dengan cara menipu atau membujuk seseorang untuk menyerahkan sesuatu yang berharga. Dalam sistem hukum Indonesia, penipuan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang memberikan sanksi terhadap siapa saja yang terbukti melakukan penipuan. Berikut ini adalah beberapa pasal yang mengatur tentang penipuan dalam hukum pidana Indonesia.
Bisakah Orang yang “Merekomendasikan” Penipu ikut Dipidana?
Menjawab pertanyaan Anda, atas kasus penipuan yang dialami, kami menilai bahwa ada dua kemungkinan yang bisa terjadi.
Sebagaimana dijelaskan dalam Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan dalam Penolakan Perpanjangan Sewa, dalam hukum pidana dikenal dengan adanya asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld). Asas ini bermakna bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau tidak melakukan perbuatan pidana.
Dapat dikatakan bahwa asas ini menjadi dasar pertanggungjawaban seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya, dalam hal ini pertanggungjawaban pidana.
Pasal 264 KUHP – Pemalsuan Dokumen untuk Penipuan
Pasal 264 KUHP mengatur tentang pemalsuan dokumen yang digunakan dalam rangka penipuan atau untuk memperoleh keuntungan secara ilegal. Isi Pasal 264 KUHP:
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dengan sengaja memalsukan dokumen atau surat, yang dapat dipergunakan sebagai alat bukti atau alat transaksi yang sah, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.”
Penjelasan: Pasal ini berfokus pada pemalsuan dokumen yang digunakan untuk tujuan penipuan. Pemalsuan dokumen dapat mencakup surat perjanjian, akta otentik, atau dokumen resmi lainnya yang digunakan untuk memperoleh keuntungan secara melawan hukum.